Ini buat siswa siswi Indonesia yang mau tau perjuangan Rahmat Shigeru Ono, Kakek Jepang yg berjuang menahan gempuran Belanda untuk Indonesia ane iseng iseng search di google ketemu tread lumayan sumber nya dari kaskus, ini true story karena ane punya sumber terpecaya hehe cekidot
Shigeru Ono lahir pada 26 September 1918 di wilayah prefektur Hokkaido, Jepang. Sebagaimana dikisahkan dalam buku memoar Rahmat Shigeru Ono
(halaman: 9), ketika menginjak usia awal 20-an, Ono di luar dugaan
berhasil menembus ujian masuk sekolah kemiliteran yang terkenal amat
sulit ditaklukkan. Dapat memasuki sebuah sekolah kemiliteran di masa itu
dipandang sangat prestisius di mata masyarakat Jepang yang mana negeri
mereka memang tengah berkonflik dengan daratan China.
Namun garis takdir Ono ternyata menuntun dia untuk bertugas pada sebuah
negeri bekas jajahan Belanda yang terletak jauh di sebelah selatan tanah
kelahirannya. Di tanah bekas jajahan Belanda itu, Ono mendapat banyak
kesempatan untuk bergaul secara langsung dengan rakyat pribumi Hindia
Belanda. Bahkan Ono juga berkesempatan untuk ikut melatih ilmu
kemiliteran kepada beberapa orang pemuda pribumi. Rentetan penderitaan
bangsa pribumi yang harus diterima sebagai imbas penjajahan Belanda dan
masa pendudukan Jepang, pelan tapi pasti mulai memantik rasa simpati Ono
terhadap mereka.
Hingga pasca berakhirnya Perang Dunia II, Shigeru Ono memilih sebuah
keputusan besar dalam hidupnya, dengan tetap tinggal di Indonesia dan
tidak mau kembali ke Jepang. Selanjutnya, Shigeru Ono yang telah
dianggap sebagai pengkhianat oleh negara asalnya, mulai sibuk bertempur
bahu-membahu bersama pasukan pribumi Indonesia untuk menghadang pasukan
Belanda yang mencoba kembali menduduki Indonesia, hingga akhir Desember
1949.
Setelah berakhirnya masa perang, kehidupan Ono berjalan tidak menentu,
kewarganegaraan Jepangnya telah dicabut dan ia sendiri pun belum resmi
diterima sebagai Warga Negara Indonesia, ia juga harus kerja serabutan
untuk menyambung hidupnya. “Pada masa itu, saya tidak punya
kewarganegaraan, sejak 1951 saya sudah mengajukan permintaan
kewarganegaraan Indonesia, namun tak ada tanggapan hingga pertengahan
1950-an“, jelas Shigeru Ono, yang kemudian bernama Rahmat Shigeru Ono setelah menjadi WNI.
Momen terindah Shigeru Ono sebagai mantan pejuang kemerdekaan terjadi
pada 1958. Ketika itu Presiden Soekarno menganugerahkan kepadanya
Bintang Veteran dan Bintang Gerilya, yang menjadikannya diakui sebagai
pejuang kemerdekaan Indonesia yang kelak berhak dimakamkan di Taman
Makam Pahlawan Kalibata. “Saya hampir tak punya apa-apa. Tidak punya
rumah, pekerjaan, dan kewarganegaraan. Hanya petani Indonesia saja yang
memberi kami makan, pakaian, dan tempat bernaung“, kenang Shigeru Ono pada masa awal kemerdekaan dulu.
Masih penasaran gan mau lebih kenal dengan Kakek Jepang ini, terus lanjut baca ke bawah gan... Menurut data Yayasan
Warga Persahabatan (YWP) di Jakarta, setelah Perang Dunia II usai,
tercatat sebanyak 903 orang bekas tentara Jepang ikut Perang Kemerdekaan
Indonesia. Pada data selanjutnya di antara mereka sekitar 243 orang
(27%) meninggal dalam perang; 288 orang (32%) hilang; 45 orang (5%)
kembali ke Jepang setelah Perang Kemerdekaan Indonesia selesai atau
sekitar 1950-an. Sisanya 324 orang (36%) memilih tetap tinggal di
Indonesia sebagai Warga Negara Indonesia (WNI).
Pada harian digital Kompas yang ditulis oleh Max Andrew Ohadi| 10 November 2012 | 08:55, memuat bahwa telah ditulis buku mengenai Bapak Shigeru Ono yang berjudul “MEREKA YANG TERLUPAKAN : MEMOAR RAHMAT SHIGERU ONO” oleh Eiichi Hayashi, Hayashi-san adalah seorang mahasiswa yang telah lulus tingkat Strata 1 dari Universitas Keio.
Sebuah tema yang nyaris tidak diperhatikan oleh penulis Indonesia
bahkan tidak pernah disinggung dalam pengajaran sejarah Indonesia.
melalui kisah ini tergambar dengan baik salah satu aspek hubungan
historis antara jepang dengan Indonesia.
Dalam buku tersebut, diceritakan secara rinci mengenai bagaimana Bapak
Shigeru Ono mengubah haluannya dari yang bergabung dengan kesatuan
tentara Jepang menjadi pejuang yang ikut memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia. Berikut kutipannya;
"Pada saat Jepang menyatakan menyerah kalah terhadap Sekutu, banyak
sekali pasukan militer Jepang yang masih berada di Indonesia. Meskipun
ada pengangkutan para pasukan militer Jepang untuk kembali ke Jepang
oleh Sekutu, pada kenyataannya terdapat sekitar 1000 orang masih berada
di Indonesia. Sampai akhirnya mereka pun tetap tinggal di Indonesia."
Data Yayasan Warga Persahabatan (YWP) di Jakarta, menyebutkan setelah
Perang Dunia II usai, tercatat sebanyak 903 orang bekas tentara Jepang
ikut Perang Kemerdekaan Indonesia. Diantara mereka sekitar 243 orang
(27%) meninggal dalam perang; 288 orang (32%) hilang; 45 orang (5%)
kembali ke Jepang setelah Perang Kemerdekaan Indonesia selesai atau
sekitar 1950-an. Sisanya 324 orang (36%) memilih tetap tinggal di
Indonesia sebagai Warga Negara Indonesia (WNI).
Perang dunia dua yang menggoreskan sejarah kelam yang tertuang dalam memoar buku “MEREKA YANG TERLUPAKAN : MEMOAR RAHMAT SHIGERU ONO”.
menceritakan sebuah contoh karya sejarah lisan yang sangat berharga dan
digarap oleh penulis dengan bersungguh-sungguh oleh Eiichi Hayashi
Lulus tingkat Strata 1 dari Universitas Keio.
Sebuah tema yang nyaris tidak diperhatikan oleh penulis Indonesia bahkan
tidak pernah disinggung dalam pengajaran sejarah Indonesia. melalui
kisah ini tergambar dengan baik salah satu aspek hubungan historis
antara jepang dengan Indonesia. Nama aslinya Sakari Ono, lahir di
Hokkaido, Jepang, 92 tahun lalu. Usia tak mampu membendung semangatnya
bercerita tentang pengalaman hidup, terutama Perang Kemerdekaan
1945-1949. Kisah ini dituturkan dalam buku Mereka yang Terlupakan:
Memoar Rahmat Shigeru Ono karya Eiichi Hayashi, yang menceritakan kisah
tentara Jepang yang membelot ke Republik.
Rahmat Shigeru Ono yang sering disebut Papi dalam buku, dia yang
tunadaksa bercerita bukan saja kepada anak dan cucunya tetapi juga
kepada setiap orang yang membaca buku ini. Dalam buku ini, ada satu
kutip paragraf di halaman 54 bagaimana tentara-tentara jepang itu
memakai seragam sarung dan kopiah… hehehe. semangat Asianisme menjadi semangat Nasionalisme Indonesia.
Seperti pernyataan Seokarno kepada sahabatnya Tatsuo dan Tomegoro di
dinding nisan mereka yang dikenal sebagai monumen Bung karno di kuil
Seisyo, Minato, Tokyo Jepang yang bertulisankan "Kemerdekaan itu bukannya hanya untuk satu bangsa akan tetapi untuk seluruh bangsa yang ada dimuka bumi ini".
Rahmat Ono Shigeru tampak sedang menikmati makan malamnya yang terdiri
dari mie goreng, tumis cap cay dan telor rebus. Kini hampir seluruh
hidupnya, Ono makan hidangan Indonesia dan sudah semakin terbiasa namun
dengan satu syarat semuanya harus ditemani ume-boshi (buah plum kering). "Saya kadang-kadang rindu masakan Jepang", ujar Ono. "Papi selalu ingin makan ini", ujar anak bungsunya sambil menambahkan beberapa umeboshi kepiring Ono.
Ono kini tinggal di rumah sederhana di Desa Sidomulyo, dekat Batu
Jawa Timur. Ono, yang memilih nama Indonesia Rahmat, merupakan salah
satu dari 1,000 orang tentara Kekaisaran Jepang yang diperkirakan
melakukan desersi dan tetap tinggal di Indonesia, sebagian besar menetap
di Pulau Sumatra, Jawa dan Bali, setelah Jepang menyerah kepada tentara
sekutu pada 15 Agustus 1945.
Mereka selanjutnya bahu membahu dengan tentara pejuang kemerdekaan
Indonesia melawan tentara Belanda yang kembali ke Indonesia. Setelah
perang usai, beberapa dari mereka tidak pernah kembali ke Jepang. "Beberapa
memilih tinggal, baik karena telah mempunyai kekasih atau menikah
dengan gadis Indonesia, atau hanya mencoba tetap bertahan dan berbagai
alasan lainnya", ujar Hayashi Eiichi yang menulis "Zanryuu Nihon Hei no Shinjitsu", (Cerita Para Tentara Jepang yang Tetap Tinggal), buku yang menguraikan tentang kisah Ono.
Kebanyakan tentara yang tinggal di Indonesia khawatir akan menghadapi
pengadilan perang atau akan diperlakukan sebagai penjahat perang bila
keberadaan mereka diketahui. "Mereka mendengar rumor bahwa bila menaiki kapal yang akan membawa ke Jepang di tengah perjalanan mereka akan di buang ke laut", ujar Hayashi, yang telah mengunjungi Ono sebanyak 80 kali untuk keperluan pembuatan bukunya.
Saat ini, tentara Jepang seperti itu dikenal sebagai Zanryu Nihon Hei atau Tentara Jepang yang Tetap Tinggal. Namun dulu mereka juga pernah dikenal sebagai "Dasso Nihon Hei", Tentara Jepang yang desersi.
Menurut Hayashi, Ono merupakan salah satu diantara sedikit tentara
Jepang yang terinspirasi ikut berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Ono
lahir pada 26 September 1918 di Prefektur Hokkaido, dan kehilangan
lengan kirinya pada saat perang melawan Belanda, dan kini hampir buta
serta kehilangan pendengaran. Namun ia masih senang menceritakan
kisahnya kepada siapapun yang mau mendengarnya.
Ketika di kirim ke Indonesia untuk bertempur, saat itu usia Ono masih
awal 20 tahun dan pada masa itu dia melakukan kontak secara langsung
dengan orang Indonesia yang dilatih oleh tentara Jepang. Dari mereka,
Ono mendapatkan informasi tentang perlakuan buruk yang dilakukan tentara
Jepang kepada orang Indonesia dan bagaimana perasaan orang Indonesia
yang dilatih tentara Jepang yang menganggap Jepang mungkin akan
mengingkari janjinya untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.
Saat itu merupakan titik balik dalam kehidupannya, dan memotivasinya untuk bergabung dengan angkatan bersenjata Indonesia. "Saya
termotivasi untuk menjadi pejuang bersama-sama dengan tentara Indonesia
karena, dalam pandangan saya, Indonesia berhak untuk dipertahankan dan
saya telah membuktikan komitmen yang saya buat", ujar Ono diruang tamu rumahnya, yang dindingnya penuh dengan foto keluarga dan saat masih di kemiliteran.
Sekitar tahun 1950, dia menikah dengan wanita pribumi bernama Darkasi.
Hingga sekarang mereka dikaruniai 9 anak, 13 cucu, dan 9 cicit. Namun,
pada tahun 1982, Darkasi meninggal dunia. Patut digarisbawahi Ono
menjadi satu-satunya eks tentara Jepang yang masih hidup hingga sekarang
setelah kematian Eji Miyahara atau Umar Hartono pada 16 Oktober 2013
silam. Ono menikah dengan wanita Indonesia, yang menurutnya tidak
melihat cacat fisik yang dideritanya namun lebih melihat pada
kualitasnya sebagai manusia. Sewaktu masa perang, Ono bergabung dengan
Pasukan Gerilya Khusus yang dipimpin oleh Ichiki "Abdul Rahman" Tatsuo,
yang berjuang di wilayah Semeru Selatan Propinsi Jawa Timur. Pasukan
ini juga memberikan pelatihan strategi kepemimpinan dan penggunaan
senjata kepada tentara Indonesia yang masih sangat seadanya. Dengan
bangga Ono menyatakan, "Pasukan Gerilya ini sangat istimewa, bahkan cukup ditakuti oleh tentara Belanda". Namun,
peran penting Ono dan mantan tentara Jepang yang membantu perjuangan
kemerdekaan Indonesia masih belum mendapat pengakuan dalam sejarah
Indonesia. "Kontribusi mereka tidak tercantum baik dalam buku teks sejarah Indonesia maupun Jepang", ujar Hayashi.
Dalam buku ini juga tertuang penjelasan mengenai Laksamana Maeda, saat
itu Kepala Kantor Penghubung Angkatan Laut Kekaisaran Jepang di
Indonesia, mempersilahkan rumahnya dipakai sebagai tempat berkumpul bagi
Sukarno, Hatta dan tokoh kunci gerakan kemerdekaan untuk mempersiapkan
naskah proklamasi. Sampai pertengahan 1950-an, para mantan tentara
Jepang tidak memiliki kewarganegaraan yang sah, mereka dianggap sebagai
pengkhianat oleh pemerintah Jepang paska perang dan tidak diakui oleh
pemerintah Indonesia. "Pada masa itu, Saya tidak punya
kewarganegaraan, Sejak 1951, Saya sudah mengajukan permintaan untuk
mendapatkan kewarganegaraan Indonesia, namun tidak ada tanggapan yang
jelas sampai pertengahan 1950-an", ungkap Ono.
Seperti mantan tentara Jepang yang tetap tinggal, Ono yang pensiunan
Letnan Satu ini akhirnya mencoba bertahan hidup dari hari ke hari. "Saya
hampir tidak punya apa-apa, Tidak punya rumah, tidak ada pekerjaan,
tidak punya kewarganegaraan, Hanya para petani Indonesia saja yang
memberikan Kami makan, pakaian dan tempat bernanung", ujarnya mengenang.
Selanjutnya, Ono mencoba berbagai pekerjaan mulai dari tukang kayu,
bekerja di penggilingan beras, peternak ayam, dan akhirnya mendapat
kewarganegaraan Indonesia dan pekerjaan yang lebih baik.
YANG TERLUPAKAN...
Pada awal kedatangannya di Wlingi, Blitar, bersama ratusan kawannya, Ono
menampik bahwa tujuan tentara Jepang ke Indonesia adalah untuk
menjajah. Hal itu, berbanding berbalik dengan fakta sejarah yang
diuraikan dalam buku sejarah di sekolah. Sejatinya, pada tahun 1942, dia
ditugaskan di Jabar dan Jatim untuk melatih militer pasukan Pembela
Tanah Air (PETA). Sebab, perjuangan rakyat Indonesia kala itu belum
berjalan efisien karena strategi dan persenjataan militernya minim.
Selain itu, hubungan Ono dengan semua warga Indonesia yang dia latih
diterima dengan tangan terbuka dan kedatangannya selalu di-support oleh
warga sekitar. Hubungan tersebut membuktikan bahwa tentara Jepang tidak
sekejam seperti apa yang dituliskan dalam buku sejarah.
Namun, saat terjadi peristiwa peledakan bom atom di Hiroshima dan
Nagasaki, kondisinya mulai mencekam. Saat itu, Jepang secara resmi
menyerah dengan tentara sekutu. Alhasil, sebanyak 903 yang berada di
Indonesia mengalami pergolakan tajam. Beberapa ada yang dibunuh dan
melakukan bunuh diri (harakiri). Tapi, ada pula yang bisa kembali ke
Jepang dengan selamat. “Saya sendiri memilih untuk tetap di
Indonesia. Sebab, hal ini berkaitan dengan janji dan komitmen. Sejak
semula para tentara berjanji pada kaisar Jepang untuk membantu
memerdekakan Indonesia,” ujarnya lirih.
Untuk melaksanakan niat tulusnya itu, Ono bersama 324 tentara Jepang
bergabung bersama tentara Indonesia. Mereka masuk dalam anggota Pasukan
Gerilja Istimewa (PGI) dan berjuang bersama dalam mencapai cita-cita
Indonesia Merdeka. Ono juga mantap menjadi Warga Negara Indonesia dan
merubah namanya menjadi Rahmat. Bahkan, supaya keluarga di Jepang tidak
mencarinya, dia mengirimkan potongan rambut dan kukunya sebagai simbol
supaya keluarganya mengira dia sudah gugur dalam peperangan.
Dia mendapat uang pensiun dari negara barunya, tapi tak mencukupi bahkan
untuk sekadar membeli rokok. Waktu itu dia perokok berat, sampai dua
bungkus saban hari. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, Ono menanam padi,
sayur, dan buah di lahan milik mertua. “Saya tidak mau kalah dengan petani yang punya dua tangan,”
katanya sembari mengepalkan tinju. Entah karena keseringan memacul satu
tangan atau bawaan lahir, tulang tangannya terlihat lebih besar
daripada orang kebanyakan.
Lima belas tahun jadi petani, dia mengadu nasib di Jakarta dan bekerja
di perusahaan Jepang. Di Ibu Kota, pada 1970, dia hampir kehilangan
nyawa. Dia menumpang becak saat keluar dari Hotel Indonesia, sembari
membawa sepatu yang terbungkus kotak dan kertas. Ketika melewati
pertokoan Sarinah di Jalan M.H. Thamrin, perampok merobek perut dan
merampas bungkusan yang dikira berisi uang itu. Darah mengucur dan dia
melihat usus menyembul. Beruntung, warga sigap membawanya ke rumah
sakit. “Rasanya ajaib saya masih hidup”, katanya.
Pada tahun yang sama, Ono pindah ke Amuntai, Kalimantan Selatan. Dia
berbisnis rotan dan mengirimnya ke Jepang. Dia memilih pensiun sepuluh
tahun kemudian, dan kembali bertani di Batu. Beberapa tahun belakangan,
kondisinya sudah terlalu lemah untuk mengayunkan pacul. Dia juga absen
dari undangan upacara 17 Agustus di Istana Merdeka, yang dihadirinya
sejak 1982. Papi, panggilannya, cuma sesekali sibuk mengecek kebun apel,
dan lebih banyak menghabiskan waktu menonton—atau lebih tepatnya
mendengar—televisi. Saluran favoritnya kantor berita Jepang, NHK. Namun
dia masih kuat berpuasa Ramadan. Anak-anaknya sering kena semprot jika
tidak membangunkannya saat sahur.
Jiwa Jepang tidak luntur meski tinggal di tanah Jawa selama tujuh
dasawarsa. Dia bisa menyanyikan Kimigayo, lagu kebangsaan Jepang, tanpa
salah. Ono-san sering mengenakan chanchanko—semacam kimono yang
menyerupai jaket—saat menyambut tamu. Juga menyukai sayur kegemaran
masyarakat Negeri Matahari Terbit: lobak. Sewaktu masih berkebun dulu,
sayur yang disebut daikon dalam bahasa Jepang itu selalu dia tanam,
meski tahu tidak laku dijual dan tak digemari keluarga. Lobak dia tanam
untuk dimakan sendiri. Kesukaan lain adalah umeboshi, buah plum yang
diasinkan dan berasa asam.
“Saya tidak suka Indonesia yang sekarang, korupsinya makin banyak”, ujar peraih bintang veteran dan gerilya dari Sukarno ini.
Batuk pria sepuh itu sejenak menghentikan obrolan. Dia lalu menyeruput
minuman kesukaannya, kopi susu, yang juga jadi menu wajib untuk
disuguhkan kepada setiap tamu. Dia terus nyerocos, bertanya kapan
korupsi bisa diberantas habis, lalu dengan penuh semangat bercerita
tentang pentingnya pendidikan antikorupsi untuk siswa sejak sekolah
dasar. Ono teringat alasan yang menghalanginya naik kapal untuk pulang
ke Negeri Sakura: memenuhi janji Jepang memberi Indonesia kemerdekaan. “Ini tidak sesuai dengan tujuan proklamasi.”
Pada tahun 1958, Ono juga mendapat penghargaan Bintang Veteran dan
Bintang Gerilya dari Presiden Sukarno, dan berhak untuk dikuburkan di
Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Dan sejak tahun 1982, pemerintah
Indonesia juga mengundangnya untuk menghadiri peringatan detik-detik
proklamasi di Istana Merdeka, yang menunjukkan kontribusi dan
pengorbanan mantan tentara Jepang sudah mulai diakui secara luas.
Namun, masalahnya sampai saat ini peran mereka masih belum
terdokumentasi dengan baik. Hayashi, yang sebelumnya datang ke Indonesia
hanya untuk belajar bahasa Indonesia, mulai tertarik dengan kisah Ono
saat bertemu pada tahun 2004 dan menginspirasinya untuk menulis sebuah
buku "Di Jepang, peran mereka masih sedikit diungkapkan dan melalui
buku ini, Saya bermaksud menyampaikan kepada generasi muda Jepang
mengenai alasan mengapa para mantan tentara Jepang tidak kembali ke
tanah airnya", papar Hayashi.
Menurut Hayashi, "Alasannya bukan karena mereka tidak diacuhkan oleh
negara asal ataupun karena ingin dilihat sebagai pahlawan tapi
sebetulnya lebih dari itu".
0 komentar:
Posting Komentar